Rabu, 04 Mei 2011

dampak penebangan hutan




Contoh Dampak Penebangan Hutan Untuk Pembangunan Di Indonesia
1.      Dampak yang ditimbulkan dari penebangan hutan yaitu banjir, tanah longsor dan berkurangnya ekosistem di dalam hutan itu sendiri (baik flora maupun fauna).
2.      Mengalami degradasi (penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas) SDA. Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah satu kesatuan komunitas yang terdiri dari tanah, air, udara, flora/fauna dan sumber daya alam lainnya beserta makhluk hidup yang ada di dalamnya.
3.      Menurunkan tingkat batas air tanah dan Mempercepat terjadinya efek rumah kaca, serta terjadinya pemanasan global.
4.      Terjadinya erosi yang disebabkan oleh penebangan hutan mempercepat perusakan tanah yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan dari tanah yang subur menjadi gurun yang tandus.
5.      Degradasi Sumber Daya Tanah/Lahan. Tanah permukaan (biasa disebut lahan) merupakan tempat sebagian besar makhluk hidup berada dan beraktivitas sesuai dengan kodratnya masing-masing pada lingkungan “habitat” yang berbeda-beda. Kerusakan tanah/lahan akan berpengaruh terhadap habitat semua makhluk hidup yang ada di dalamnya dan kerusakan habitat sangat berpengaruh terhadap kelangsungan makhluk hidup yang disangganya. Semakin banyaknya terjadi tanah longsor di daerah kemiringan tinggi (pegunungan/perbukitan), dan tanah terbuka bekas penggalian tambang permukaan (emas, batubara, timah, dlsb).
6.      Degradasi Sumber Daya Air: Semakin kecilnya debit air sungai dari tahun ke tahun dan semakin besarnya perbedaan debit air sungai pada musim hujan dengan musim kemarau.
7.      Punahnya Spesies Hutan
Hutan di Indonesia dikenal kaya akan keragaman hayatinya. Dengan rusaknya hutan, dapat dipastikan keanekaragaman ini sulit untuk dipertahankan. Bahkan, yang lebih buruk akan mengalami kepunahan. Dampak kerusakan hutan tidak hanya melanda spesies pohon, tetapi juga kenyamanan para penghuni hutan. Mereka sewaktu-waktu akan kehilangan habitnya.  Efek dari berkurangnya hutan ini pun meluas, tampak pada aliran sungai yang tidak biasa, erosi tanah, dan berkurangnya hasil dari produk-produk hutan. Polusi dari pemutih khlorin yang digunakan untuk memutihkan sisa-sisa dari tambang telah merusak sistem sungai dan hasil bumi di sekitarnya, sementara perburuan ilegal telah menurunkan populasi dari beberapa spesies yang mencolok, di antaranya orangutan (terancam), harimau Jawa dan Bali (punah), serta badak Jawa dan Sumatera (hampir punah). Di pulau Irian Jaya, satu-satunya sungai es tropis memang mulai menyurut akibat perubahan iklim, namun juga akibat lokal dari pertambangan dan penebangan hutan.


pertusis


A.    Definisi
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus.
B.     Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis.
Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um , ovoid  kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50ºC tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10ºC dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.
C.     Patologi
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan pneumonia interstitial. Di samping itu dapat dijumpai perubahan - perubahan patologis di organ lain seperti hati dan otak. Pada otak dapat dijumpai adanya perdarahan otak atrofi kortikal. Perdarahan pada otak dapat masif dan mengenai parenkim atau ruang subaraknoid terutama pada pertusis enselopati.
D.    Transmisi dan Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara :

Ø    Droplet
Ø    Bahan droplet
Ø    Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.
Tersebar diseluruh dunia ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80-100 % pada penduduk yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan,  Menyerang semua golongan umur yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak  antara 1-5 tahun, dengan persentase kurang dari satu tahun : 44%, 1-4 tahun : 21%, 5-9 tahun : 11%, 12 tahun lebih: 24% ( Amerika tahun 1993). Dan Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa. Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika serikat selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600 pendeirta dengan  kematian 17.00 orang. Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang.  Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999, diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 600.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis, terutama pada bayi yang tidak diimunisasi.
Usia Dari tahun 1999-2002, dari semua pasien pertusis:
Ø    29% berusia kurang dari 1 tahun.
Ø    12% berusia 1-4 tahun.
Ø    10% berusia 5-9 tahun.
Ø    29% berusia 10-19 tahun.
Ø    20% berusia lebih dari 20 tahun


E.     Patolofisiologi
Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan.  Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag. Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik.
Perlengketan dipengaruhi oleh FHA ( filamentous Hemoglutinin), LPF (lymphositosis promoting factor), proten 69 kd yang berperan dalam perlengketan  Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi. Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas isulin. Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus. Penumpukan mucus akan menyebabkan plug  yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis.
F.      Gejala Klinis
Masa inkubasi Bordetella pertusis adlah 6-2 hari ( rata rata 7 hari). Sedang perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu. Ada 3 stadium Bordetella pertusis :
1)      Stadium kataral (1-2 minggu) Menyerupai gejala ispa : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius
2)      Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu) Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk uat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol,lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis , penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosiaonal dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak berak dan terkencing kencing. Kadang kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.
3)      Stadium konvalesens (1-2 minggu) Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.
G.    Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan atas anamnesa , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah serangan yang khas yaitu batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda malahan meningkat menjadi siang dan malam dan terdapat kontak dengan penderita pertusis, batuk bersifat paroksimal dengan  bunyi whoop yang jelas, bagaimanakah riwayat imunisasinya. Pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis( 20.000-50000/ul) pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic. Pada pemeriksaan  secret nasofaring didapatkan Bordetella pertusis. Dan pemeriksaan lain adalah foto thorak apakah terdapat infiltrate perihiler, atelektasis atau emfisema.  Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium spasmodic, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai common cold.   
H.     Diagnosis banding Pada batuk spasmodic perlu dipikirkan bronkioitis, pneumonia bacterial, sistis fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Infeksi Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis Bordetella pertusis. Tetapi dapat dibedakan dengan isolasi kumam penyebab.
I.       Kompliksi
Alat pernapasan dapat terjadi otitis media “sering pada bayi”, bronchitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema “dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat”, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat, batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestisial, pnemutorak.
 Alat pencernaan : Muntah muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis.
Susunan saraf pusat : Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah. Kadang kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis, hiponatremi.
Lain lain : Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva.
J.       Pengobatan
Antimikroba
            Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis namun tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan penyakit ini terutama diberikan pada stadium paroksimal. Oleh karena itu obat – obat ini lebih dianjurkan pemakaiannya pada stadium kataralis yang dini.
            Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan dosis 50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari
Kortikosteroid
            Beberapa peneliti menggunakan :
·                        Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam
·                        Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis 30mg/kg.bb/24jam, kemudian diturunkan secara perlahan – lahan da diberhentikan pada hari ke 8.
·                        Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari.
·                        Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah dalam pengobatan pertusis terutama pada bayi dengan serangan paroksimal.
Salbutamol
Beberapa peneliti menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap pengobatan pertusis dengan cara kerja sebagai berikut :
·                           Beta 2 adrenergik stimulant
·                           Mengurangi parokosismal
·                           Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop
·                           Mengurangi frekunensi apnue
Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Terapi suportif
·                           Lingkungan perawatan yang tenang
·                           atasi dehidrasi, berikan nutrisi
·                           Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang berbentuk cair.
·                           Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral.
·                           Pembersihan jalan napas.
·                           Oksigen, terutama pada sernagan baatuk yang hebat yang disertai sianosis, dan terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik
·                           Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop
K.     Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan antikonvulsan setiap 4 – 6 jam untuk selama 48 – 72 jam. Anak dengan kelainan neurologi yang mempunyai riwayat kejang, 7 kali lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4 kali lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada anak dalam keadaan demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya berikan imunisasi DT.
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami enselopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalm 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotrensi hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan >40,50C dalam 2 hari. eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis.
Kontak erat pada usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin  50mg/kgBB/24jam dalam 2 – 4 dosis selama 14 hari. kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan erirtromisin sebagai priofilaksis.
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi belum pernah imunisasi petusis hendaknya diberikan imunisasi pertusis selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hemdaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
Isolasi:  mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
Karantina:   kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis
L.     Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik. Pada bayi resiko kemtaian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari. Dan bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru dan susunan saraf pusat yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak kecil. Dimana frekuensi komplikasi terbanyak dilaporkan pada bayi kurang dari 6 bulan mempunyai mortalitas morbiditas yang tinggi. 

ANALISIS SWOT KLB MALARIA


Tugas Epidemiologi Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Perencanaan Program Penanggulangan KLB Malaria


Disusun Oleh
Nama : Asnan
Nim : 08029181
Kls/Semester : C/VI

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2010


Perencanaan Program Penanggulangan KLB Malaria
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles spp. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki  endemisitas tinggi.
Malaria merupakan penyakit yang terdapat di daerah Tropis. Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembangbiak dan berpotensi melakukan kontak dengan manusia dan menularkan parasit malaria. Contoh faktor-faktor lingkungan itu antara lain hujan, suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, ketinggian. Salah satu faktor lingkungan yang juga mempengaruhi peningkatan kasus malaria adalah penggundulan hutan, terutama hutan-hutan bakau di pinggir pantai. Akibat rusaknya lingkungan ini, nyamuk yang umumnya hanya tinggal di hutan, dapat berpindah di pemukiman manusia, kerusakan hutan bakau dapat menghilangkan musuh-musuh alami nyamuk sehingga kepadatan nyamuk menjadi tidak terkontrol.
Ketika nyamuk anopheles betina (yang mengandung parasit malaria) menggigit manusia, akan keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darah dan jaringan hati. Dalam siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati (stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke erotrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer). Disitu mulai bentuk troposit muda sampai sizon tua/matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merozoit
Gejala demam pada malaria biasanya penderita akan merasa menggigil (15-60 menit) seperti orang yang kedinginan namun suhu tubuh sangat tinggi. Kejadian menggigil disertai dengan demam tinggi ini bisa berlangsung beberapa jam kemudian penderita akan berkeringat selama 2-4 jam timbul setelah demam terjadi akibat gangguan metabolism dan suhu tubuh akan turun kembali normal. Kejadian ini bisa berlangsung tiap hari, atau tiap 2 hari atau tiap 3 hari atau tidak tentu tergantung jenis malarianya. Sekali terinfeksi malaria seumur hidup akan mengalami serangan demam menggigil itu jika kekebalan tubuh menurun. sedang demam biasa adalah demam yang hanya bersifat situasinoal dan bisa sembuh total dan biasanya karena penyakit infeksi akut non Plasmodium.

1.      Pengumpulan Data.
Data penyakit  yang diperoleh dari puskesmas Taliwang NTB

No
Jenis penyakit
jumlah kasus

Penyakit  ISPA
10 orang

Penyakit  TBC
5  orang

Penyakit  malaria
30 orang

Penyakit  Rabies
1 orang

Penyakit  DBD
15 orang

Penyakit Batuk
7 orang

Penyakit  Kolera
-

Penyakit  AIDS
2 oramg

Penyakit  Hepatitis A
5 orang

Penyakit  Anthrax
-

2.      Identifikasi masalah
Malaria merupakan suatu masalah kesehatan yang banyak terjadi pada negara-negara tropis. Malaria juga dapat menjadi suatu masalah bagi orang-orang yang berkunjung ke negara-negara tropis tersebut. Jika anda bepergian atau traveling pada suatu daerah tropis atau ke suatu negara dimana kasus malaria sering terjadi di sana, anda sebaiknya berhati-hati akan rersiko penularan malaria dan lakukanlah tindakan pencegahan sebelum terserang penyakit ini.
Memasuki musim penghujan malaria biasanya mudah terjadi, pemerintah dan petugas kesehatan setempat menghimbau kepada masyarakat agar mewaspadai penyakit malaria. Sebab musim hujan sangat rentan dengan perkembangbiakan nyamuk penyebab malaria (anopheles). Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.
Pada hakikatnya malaria merupakan penyakit berbasis lingkungan yang menjadi pola kesakitan dan kematian di Indonesia yang mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan. Sebagai salah satu rumpun penyakit reemerging atau yang biasa diistilahkan sebagai penyakit yang dapat menular kembali secara missal membuat penyakit malaria hingga saat ini masih menjadi ancamam serius bagi masyarakat yang tinggal di daerah tropis dan subtropis, dimana pada kawasan tersebut- malaria sering menimbulkan kejadian luar biasa. Dari data yang dimiliki oleh Kementrian Kesehatan, terdapat sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi penyakit malaria- dari jumlah tersebut lebih dari satu juta orang meninggal dunia. Apabila kita telusuri lebih lanjut, maka ditemukan bahwa kasus terbanyak menimpa masyarakat di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa Negara bagian Eropa- serta beberapa negara Asia tidak terkecuali Indonesia.
Dilihat dari data laporan puskesmas diatas menunjukan bahwa tingkat kejadian Malaria paling tinggi dari penyakit lainnya yaitu dengan jumlah 30 orang, oleh karena itu pemerintah dan petugas kesehatan setempat perlu melakukan penanganan serius terhadap perkembangan penyakit Malaria.
3.      Menetapkan prioritas masalah
Malaria adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh parasit jenis plasmodium. Dalam kasus penyebaran penyakit malaria, kita seringkali melupakan akar masalah mengapa penyakit tersebut bisa tersebar dan menelan korban jiwa dan serta cenderung menimbulkan kejadian luar biasa ( KLB ). Sejauh ini penyelesaian masalah atau solusi yang umum dilaksanakan masih berkutat pada bagaimana mengobati orang yang sakit malaria ataupun mengupayakan memberantas nyamuk sebagai vektor bagi penyebaran parasit plasmodium yang menyebabkan tubuh seseorang menjadi sakit. Oleh karena itu, berkaitan dengan penyebaran malaria ini, paling tidak ada tiga faktor utama yang mesti mendapat perhatian bersama dan saling berhubungan satu sama lain yaitu host ( manusia/nyamuk ), agent ( parasit plasmodium ) dan environment ( lingkungan ) sehingga penyebaran malaria potensial terjadi apabila ketiga komponen tersebut saling mendukung.
Program in diharapkan dapat berjalan dengan lancar, oleh karena itu dibutuhkan kesadaran masyarakat dan tenaga ahli dalam masalah ini, disamping itu, teknologi yang dibutuhkan juga harus ada dan memadai. Pemerintah telah menyiapkan sejumlah alat pengasaapan / alat fogging untuk pemberantasan nyamuk. Jika program ini berhasil, tentunya akan membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat, petugas kesehatan maupun pemerintah dan untuk kedepanya masyarakat dapat terjamin/terbebas dari penyakit malaria .
4.      Menyusun alternatif jalan keluar
a.       Dinas kesehatan dan petuga kesehatan diharapkan  gencar melakukan pengasapan dan pemberian abate di tempat penampungan genangan air, area persawahan tetapi kalau tidak diikuti kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungannya, upaya akan sulit tercapai.
b.      Melakukan pelatihan pada petugas kesehatan terhadap penanganan malaria dengan cepat tanggap secara dini, yang diharapkan dapat menemukan dan mengobati penderita malaria dengan cepat dan mengadakan pengamatan secara dini terhadap keadaan yang potensial terjadinya kejadian luar biasa KLB.
c.       Pemda perlu menganggarkan dana yang dalam jumlah besar untuk pemberantasan penyakit malaria pada masa yang akan datang.
d.      Membentuk  organosasi/kelompok anti malaria di masyarakat yang dilengkapi dengan fasilitas memadai (alat fogging dan obat anti malaria)
e.       menggratiskan biaya pengobatan bagi pasien penderita malaria di setiap  puskesmas sampai dengan sembuh.
f.       Memberantas vektor ( nyamuk penular malaria ) dengan mengikut sertakan kepedulian dan peranserta masyarakat dalam menata lingkungannya secara kolaboratif dengan upaya penyuluhan kepada masyarakat sekitar, tentang proteksi diri, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta memberikan pengetahuan bahayanya penyakit menular malaria yang berkesinambungan untuk merubah perilaku masyarakat dalam pemberantasan malaria, dengan melibatkan : PKK Desa/ Kelurahan , tokoh masyarakat, tokoh agama dan guru sekolah serta seluruh stakeholders yang berkepentingan.



5.      Memilih prioritas jalan keluar
Dari bebeapa alternative jalan keluar yang ada diatas dapat diprioritaskan untuk dijalankan yaitu sebagai berikut dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti halnya untuk mencapai tujuan, evektif, efisien biaya, serta ketersediaan sumber daya manusia.
a.       Memberantas vektor ( nyamuk penular malaria ) dengan mengikut sertakan kepedulian dan peranserta masyarakat dalam menata lingkungannya secara kolaboratif dengan upaya penyuluhan kepada masyarakat sekitar, tentang proteksi diri, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta memberikan pengetahuan bahayanya penyakit menular malaria yang berkesinambungan untuk merubah perilaku masyarakat dalam pemberantasan malaria, dengan melibatkan : PKK Desa/ Kelurahan , tokoh masyarakat, tokoh agama dan guru sekolah serta seluruh stakeholders yang berkepentingan.
b.      Melakukan pelatihan pada petugas kesehatan terhadap penanganan malaria dengan cepat tanggap secara dini, yang diharapkan dapat menemukan dan mengobati penderita malaria dengan cepat dan mengadakan pengamatan secara dini terhadap keadaan yang potensial terjadinya kejadian luar biasa KLB.
6.      Melakukan uji lapangan
Uji lapangan ini untuk mengetahui berbagai factor pendukung dan penghambat yang kiranya akan ditemukan.
a.       Untuk factor pendukung.
·         Ketersedeiaan dana yang cukup dari pemerintah untuk penanggulangan penyakit malaria
·         SDM yang sudah mampu untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat setempat mengenai malaria
·         Peran masyarakat dalam pemberantasan vector nyamuk malaria dan dapat segera melaporkan penderita malaria pada petugas kesehatan.
b.      Untuk factor penghambat
·         Kewaspadaan dni dari SDM yang kurang terhadap kejadian wabah malaria
·         Masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, serta  kondisi lingkungan dengan sanitasinya buruk.
·         Fasilitas kesehatan kesehatan kurang dan anggaran dana sedikit.
7.      Menyusun rancangan kerja selengkapnya
a.       Rumusan misi
·      Meningkatkan kewaspadaan dini dan kesadaran masyarakat/warga setempat mengenai hidup bersih dan sehat.
·      Untuk mencapai masyarakat yang sehat, sejahtera dari penyakit dan terbebas dari penyakit menular malaria.
b.      Rumusan visi
·         Memberdayakan/melibatkan masyarakat dalam hal peningkatan kesejahterahan dan penanggulangan penyakit malaria
·         Meningkatkan kinerja petugas kesehatan serta perhatian pemerintah untuk memberantas vector/penyakit malaria.
c.       Rumusan masalah
d.      Tujuan
Tujuan umum
·         Meningkatkan kinerja petugas kesehatan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
Tujuan khusus
·         Menjaga masyarakat dari serangan penyakit malaria
·         Meningkatkan kewaspadaan dini masyarakat terhadap penyakit khususnya malaria
·         Menyadarkan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat.
e.       Asumsi perencanaan
Agar program ini dapat berjalan dengan dengan baik maka dibutuhkannya dukungan dari semua pihak yang terlibat didalamnya seperti: anggaran dana dari pemda yang cukup, SDM harus tersedia untuk memberikan petunjuk kepada masyarakat, alat/fasilitas yang dibutuhkan harus semuanya dalam keadaan lengkap sehingga dalam pelaksanaannya tidak terkendala dalam melakukan pemberantasan nyamuk dan peran serta masyarakat dalam program ini.
f.       Strategi pendekatan
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan diatas, tentunya sangat dibutuhkan dukungan dari pemerintah setempat, serta masyarakat yang hidup dalam wilayah tersebut.
Untuk mendapatkan dukungan tersebut tentunya harus dilakukan pendekatan pendekatan, baik kepada pemerintah, dalam hal ini untuk mendapatkan dukungan secara materi, maupun kepada masyarakat umum untuk keberhasilan program.
g.      Kelompok sasaran
Sasaran dari program penanggulangan KLB malaria ini adalah semua warga masyarakat tanpa terkecuali yang hidup dalam wilayah tersebut. Untuk mencegah terjadinya penyakit perkembangbiakan malaria.
h.      Waktu
Program kegiatan penanggulangan dan pemantauan KLB malaria ini akan dilaksanakan selama delapan bulan kedepan.
i.        Organisasi dan tenaga pelaksana
Dalam program ini akan melibatkan petugas kesehatan, pemerintah, serta semua kalangan masyarakat(RW,RT, dan Warga setempat) yang bertempat tinggal diwilayah tersebut.
Demi tercapainya tujuan yang diinginkan bersama untuk itu harapan partisipasi dari semua kalangan sangat diharapkan, tentunya program ini harus mendapat dukungan dari masyarakat atau masyarakat harus bisa bekerja sama dengan pegawai kesehatan dan pemerintah sehingga kejadian penyakit malaria dapat ditekan sekecil mungkin atau bahkan dihilangkan, dan semuanya membutuhkan keseriusan dari semua pihak.
j.        Biaya
Biaya yang dianggarkan dari pemerintah  khusus untuk program penanggulangan  KLB malaria ini sebesar 2 milyar dari anggaran pendapatan daerah (APBD). Anggaran ini jauh lebih besar daripada anggaran tahun-tahun sebelunya, hal ini merupakan salah satu bukti bagaimana keseriusan pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakatnya.

8)      Metode penilaian dan kriteria keberhasilan.
Keberhasilan program diatas dapat dikatakan berhasil, apabila angka kesakitan/kematian akibat kasus penyakit malaria menurun dan sebaliknya jika telah dilakukan program tersebut tidak ada perubahan pada kejadian malaria atau bahkan semakin meningkatnya KLB malaria program tersebut dapat dikatakan gagal.

















Aalisis swot program diatas :
1)      Strengths (kekuatan)
a.       Adanya dukungan dari PKK Desa/ Kelurahan , tokoh masyarakat, tokoh agama dan guru sekolah serta seluruh stakeholders yang berkepentingan.
b.      Ketersedeiaan dana yang cukup dari pemerintah untuk penanggulangan penyakit malaria.
c.       SDM yang sudah mampu untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat setempat mengenai malaria
2)      Weakness (kelemahan)
a.       Masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, serta  kondisi lingkungan dengan sanitasinya buruk.
b.      Fasilitas kesehatan kesehatan kurang dan anggaran dana sedikit.
c.       Kewaspadaan dni dari SDM yang kurang terhadap kejadian wabah malaria
3)      Opportunities (peluang)
a.       Meningkatkan kinerja petugas kesehatan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
b.      Meningkatkan kewaspadaan dini masyarakat terhadap penyakit khususnya malaria
c.       Melakukan pelatihan pada petugas kesehatan terhadap penanganan malaria dengan cepat tanggap secara dini, yang diharapkan dapat menemukan dan mengobati penderita malaria dengan cepat dan mengadakan pengamatan secara dini terhadap keadaan yang potensial terjadinya kejadian luar biasa KLB
4)      Threats (ancaman)
a.       Dapat meningkatnya angka kematian dan kesakitan akibat malaria
b.      Kurangnya pengetahuan petugas kesehatan terhadap alat-alat yang digunakan dalam pemberantasan nyamuk.