Rabu, 04 Mei 2011

pertusis


A.    Definisi
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus.
B.     Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis.
Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um , ovoid  kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50ºC tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10ºC dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.
C.     Patologi
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan pneumonia interstitial. Di samping itu dapat dijumpai perubahan - perubahan patologis di organ lain seperti hati dan otak. Pada otak dapat dijumpai adanya perdarahan otak atrofi kortikal. Perdarahan pada otak dapat masif dan mengenai parenkim atau ruang subaraknoid terutama pada pertusis enselopati.
D.    Transmisi dan Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara :

Ø    Droplet
Ø    Bahan droplet
Ø    Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.
Tersebar diseluruh dunia ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80-100 % pada penduduk yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan,  Menyerang semua golongan umur yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak  antara 1-5 tahun, dengan persentase kurang dari satu tahun : 44%, 1-4 tahun : 21%, 5-9 tahun : 11%, 12 tahun lebih: 24% ( Amerika tahun 1993). Dan Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa. Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika serikat selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600 pendeirta dengan  kematian 17.00 orang. Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang.  Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999, diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 600.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis, terutama pada bayi yang tidak diimunisasi.
Usia Dari tahun 1999-2002, dari semua pasien pertusis:
Ø    29% berusia kurang dari 1 tahun.
Ø    12% berusia 1-4 tahun.
Ø    10% berusia 5-9 tahun.
Ø    29% berusia 10-19 tahun.
Ø    20% berusia lebih dari 20 tahun


E.     Patolofisiologi
Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan.  Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag. Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik.
Perlengketan dipengaruhi oleh FHA ( filamentous Hemoglutinin), LPF (lymphositosis promoting factor), proten 69 kd yang berperan dalam perlengketan  Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi. Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas isulin. Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus. Penumpukan mucus akan menyebabkan plug  yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis.
F.      Gejala Klinis
Masa inkubasi Bordetella pertusis adlah 6-2 hari ( rata rata 7 hari). Sedang perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu. Ada 3 stadium Bordetella pertusis :
1)      Stadium kataral (1-2 minggu) Menyerupai gejala ispa : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius
2)      Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu) Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk uat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol,lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis , penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosiaonal dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak berak dan terkencing kencing. Kadang kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.
3)      Stadium konvalesens (1-2 minggu) Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.
G.    Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan atas anamnesa , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah serangan yang khas yaitu batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda malahan meningkat menjadi siang dan malam dan terdapat kontak dengan penderita pertusis, batuk bersifat paroksimal dengan  bunyi whoop yang jelas, bagaimanakah riwayat imunisasinya. Pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis( 20.000-50000/ul) pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic. Pada pemeriksaan  secret nasofaring didapatkan Bordetella pertusis. Dan pemeriksaan lain adalah foto thorak apakah terdapat infiltrate perihiler, atelektasis atau emfisema.  Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium spasmodic, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai common cold.   
H.     Diagnosis banding Pada batuk spasmodic perlu dipikirkan bronkioitis, pneumonia bacterial, sistis fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Infeksi Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis Bordetella pertusis. Tetapi dapat dibedakan dengan isolasi kumam penyebab.
I.       Kompliksi
Alat pernapasan dapat terjadi otitis media “sering pada bayi”, bronchitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema “dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat”, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat, batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestisial, pnemutorak.
 Alat pencernaan : Muntah muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis.
Susunan saraf pusat : Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah. Kadang kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis, hiponatremi.
Lain lain : Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva.
J.       Pengobatan
Antimikroba
            Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis namun tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan penyakit ini terutama diberikan pada stadium paroksimal. Oleh karena itu obat – obat ini lebih dianjurkan pemakaiannya pada stadium kataralis yang dini.
            Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan dosis 50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari
Kortikosteroid
            Beberapa peneliti menggunakan :
·                        Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam
·                        Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis 30mg/kg.bb/24jam, kemudian diturunkan secara perlahan – lahan da diberhentikan pada hari ke 8.
·                        Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari.
·                        Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah dalam pengobatan pertusis terutama pada bayi dengan serangan paroksimal.
Salbutamol
Beberapa peneliti menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap pengobatan pertusis dengan cara kerja sebagai berikut :
·                           Beta 2 adrenergik stimulant
·                           Mengurangi parokosismal
·                           Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop
·                           Mengurangi frekunensi apnue
Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Terapi suportif
·                           Lingkungan perawatan yang tenang
·                           atasi dehidrasi, berikan nutrisi
·                           Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang berbentuk cair.
·                           Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral.
·                           Pembersihan jalan napas.
·                           Oksigen, terutama pada sernagan baatuk yang hebat yang disertai sianosis, dan terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik
·                           Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop
K.     Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan antikonvulsan setiap 4 – 6 jam untuk selama 48 – 72 jam. Anak dengan kelainan neurologi yang mempunyai riwayat kejang, 7 kali lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4 kali lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada anak dalam keadaan demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya berikan imunisasi DT.
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami enselopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalm 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotrensi hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan >40,50C dalam 2 hari. eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis.
Kontak erat pada usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin  50mg/kgBB/24jam dalam 2 – 4 dosis selama 14 hari. kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan erirtromisin sebagai priofilaksis.
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi belum pernah imunisasi petusis hendaknya diberikan imunisasi pertusis selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hemdaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
Isolasi:  mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
Karantina:   kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis
L.     Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik. Pada bayi resiko kemtaian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari. Dan bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru dan susunan saraf pusat yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak kecil. Dimana frekuensi komplikasi terbanyak dilaporkan pada bayi kurang dari 6 bulan mempunyai mortalitas morbiditas yang tinggi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar